Selasa, 23 Desember 2014

IJTIHAD Sebagai Sumber Ketiga Ajaran Islam

IJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Kata ijtihad berasal dari bahasa arab ialah dari kata “al-jahdu” yang berarti daya upaya atau usaha keras. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum  –  hukum syariat dari dasar – dasar melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh - sungguh dan mendalam.
Ijtihad menurut definisi Ushul Fikih yaitu “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum – hukum syara dan hukum syara menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku dibidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nezhariy

Adanya ijtihad itu muncul, bukan hanya pada masa Khulafaurr Assyidin dan generasi berikutnya, akan tetapi sejak zaman Nabi Muhammad SAW Ijtihad telah ada.
Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuk objek ijtihad. Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori perubahan dan pergantian alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam kasus seperti penentuan arah kiblat, misalnya orang yang berada disekitar Masjid Al Haram (Mekkah) secara langsung melihat Ka’bah, sehingga arah kiblat ditentukan dengan penentuan yang meyakinkan, tidak lagi terdapat kemungkinan yang salah. Dalam kondisi seperti itu psikomotor berada pada tingkat yang paling tinggi, disebut dengan “ ain al-yaqin” adapun penentuan arah kiblat dari Masjidil Haram berdasarkan orang yang dipercaya, atau berdasarkan alat petunjuk arah, misalnya kompas. Tingkat pengetahuan semacam ini disebut “ilmu al yaqin”
Berdasarkan contoh penentuan arah kiblat diatas, baik yang didasarkan pada pengetahuan tingkat pertama (ainul yaqin) maupun didasarkan pengetahuan tingkat kedua (ilmu yaqin) tidak disebut ijtihad. Namun apabila tidak ada orang atau alat yang dapat memberikan petunjuk mengenai arah kiblat seperti yang dicontohkan diatas, maka yang bersangkutan wajib berijtihad.
Syarat – syarat menjadi mujtahid :
*      Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
1.       Balig
2.       Berakal sehat
3.       Kuat daya nalarnya
4.       Beriman atau mukmin.
*      Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut:
1.       Mengetahui Al Qur’an(3)  Memahami maksud-maksud hukum syari’at
2.       Memahami Sunnah
3.       Memahami maksud-maksud hukum syari’at
4.       Mengetahui kaidah-kaidah umum hukum Islam.
*      Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
1.       Menguasai bahasa Arab
2.       Mengetahui ilmu ushul al-fiqh
3.       Mengetahui ilmu mantik atau logika
4.    Mengetahui hukum asal suatu perkara
*      Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
1.       Tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihad
2.       Mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat
3.       Memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.

Mengenai rukun ijtihad, yaitu sebagai berikut :
1.       Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak di terangkan oleh nash
2.       Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat -syarat tertentu
3.       Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi)
4.       Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar