NIKAH
BEDA AGAMA
Ust. H. Ibnu Sholeh S.R, M.A,
M.P.I
Propaganda
Nikah Beda Agama
Belakangan
ini pembahasan nikah beda agama kembali ramai diperbincangkan, tepatnya sejak
sekelompok pengasong ide liberal melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
terhadap undang undang yang melarang pernikahan beda agama. Seperti biasa, pentolan
liberal sebagai pengasong pemikiran Iblis tak henti hentinya menyampaikan
alasannya kenapa mendukung pernikahan beda agama. Bukan hanya mendukung, mereka
juga sangat bersemangat mengkritisi pandangan kaum Muslimin selama ini yang
melarang nikah beda agama. Para pengasong liberal ini memakai berbagai jurus
argumentasi, sehingga terlihat seolah pandangannya adalah benar.
Bagi orang
awam, alasan-alasan pengasong liberal ini bisa menipu, sehingga mereka mendukung
pernikahan beda agama, diantara alasan yang dipakai untuk mendukung
pendapatnya, kurang lebih sebagai berikut:
(1) Selama ini tidak nash yang qathi (tegas) dalam
Al Qur’an atau
As Sunnah yang melarang pernikahan beda
agama. Kalaupun ada larangan, hal itu hanyalah intepretasi (penafsiran) para
ulama. atau hasil ijtihad ulama.
2) Tidak ada ayat yang melarang Muslim menikah dengan non Muslim.
Kalaupun ada adalah larangan menikah
dengan orang musyrik dan kafir. Sementara definisi musyrik, kafir, dan ahlul kitab
itu beragam menurut para ulama. Muhammad Abduh menganggap siapapun yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, mereka juga ahlul kitab.
(3) Pandangan para ulama
dalam masalah nikah beda agama, tidak bersifat tunggal, melainkan beragam. Jadi, pandangan mereka relatif,
tidak bersifat mutlak.
(4) MUI Jakarta tahun 1996 pernah memperbolehkan
pernikahan beda agama, karena waktu itu banyak
kasus pernikahan beda agama (alasan
Sosiologis). Tetapi tahun 1997, fatwa MUI Jakarta
itu dicabut lagi. Artinya, MUI
pun pernah membolehkan nikah beda agama.
(5) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Al Azhar Mesir, larangan Muslimah menikah dengan non Muslim, karena khawatir mereka nanti akan terpengaruh oleh agama suaminya. Sementara menurut Musdah, dari hasil penelitian dosen UIN Jakarta (kolega Musdah), 80 % anak-anak yang ibunya menikah dengan non Muslim, ikut agama ibunya (Islam).
(5) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Al Azhar Mesir, larangan Muslimah menikah dengan non Muslim, karena khawatir mereka nanti akan terpengaruh oleh agama suaminya. Sementara menurut Musdah, dari hasil penelitian dosen UIN Jakarta (kolega Musdah), 80 % anak-anak yang ibunya menikah dengan non Muslim, ikut agama ibunya (Islam).
Selain pandangan di atas, merekaa juga mengatakan
beberapa pandangan tambahan di bawah ini, yaitu:
(a) Kalau niatnya berdakwah, seharusnya kita
mendorong agar para Muslimah banyak menikah
dengan non Muslim, sebab hal itu
nanti bisa menarik non Muslim serta anak-anaknya menjadi Islam juga.
(b) Musdah mempertanyakan, Kata siapa masalah
nikah beda agama sudah selesai? Kesimpulan
seperti itu kata dia justru menutup lahirnya ijtihad yang cemerlang. Dan kenyataan seperti inilah yang membuat Islam
masih kata Musdah- mengalami kemunduran peradaban
sejak abad 12 Masehi.
(c) Hukum halal-haram yang
ada selama ini hanyalah produk intepretasi manusia (ulama)? Bukan wahyu dari Allah. Jika memang
intepretasi ulama itu berharga, mengapa ulama-ulama kontemporer yang berpemikiran progressif tidak dihargai, padahal
mereka juga berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah?
Demikian kurang lebih pokok-pokok pemikiran para penghujat
Syariat Islam ini. Kalau mau jujur, pemikiran dia hanya mengulang-ulang lagu
lawas kaum pemeluk agama Liberal.
Ummat Islam Perlu Hati-hati
Ummat Islam harus berhati-hati saat menghadapi propaganda
pemikiran non Islam, dan Liberalisme. Kita harus berhati-hati saat berhadapan
dengan pemikiran mereka. Kalau ilmu kita memang tidak cukup, hati kita masih
ragu-ragu, sebaiknya jangan mendengar atau membaca tulisan orang-orang keblinger
itu. Khawatir nanti kita akan terseret dalam arus keraguan yang tidak menentu.
Di mata orang awam, generasi muda yang masih baru belajar
agama, atau dai-dai populis, apa yang dikemukakan mereka. adalah masalah sepele.
Walaupun sesungguhnya Ia bisa mengguncang keimanan. Maka janganlah segan-segan
bertanya kepada ulama-ulama yang istiqamah, saat berhadapan dengan
pemikiran-pemikiran tercela kaum liberal
Larangan Menikah Beda Agama
Sungguh terlalu kalau pengasong agama liberal yang
mengatakan bahwa tidak ada ayat-ayat yang secara tegas melarang pernikahan beda
agama. Dia menuduh,pemikiran-pemikiran dalam hal ini umumnya hanyalah
intepretasi ulama. Padahal dalam Al Qur’an bukan hanya di satu tempat disebutkan larangan
pernikahan beda agama.
Dalam Surat An Nuur disebutkan pedoman yang bersifat
umum: Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji untuk wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang
baik. (An Nuur: 24).
Tentu saja, kekejian kekafiran dan kemusyrikan lebih
berat daripada kekejian maksiyat, seperti mencuri, berjudi, zina, minum khamr,
bahkan membunuh. Dalam Al Quran disebutkan kalimat terkenal, Wal fitnatu
asyaddu minal qatli (dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan). Yang dimaksud
fitnah disini adalah syirik, kekafiran, dan kekacauan yang meluas. Dosa
maksiyat sangat mungkin diampuni, tetapi tidak bagi dosa syirik ”Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni siapa yang mensyirikkan-Nya, dan Dia mengampuni yang
selain itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang mensyirikkan Allah,
sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar. (An Nisaa: 48).
Kemudian dalam Surat Al Baqarah disebutkan larangan bagi
Ummat Islam menikahi kaum musyrikin. Janganlah kalian menikah
wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. Seorang budak wanita Mukminah,
dia lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun dirinya (wanita musyrik itu)
menakjubkan kalian. Dan janganlah menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita
Muslimah) sampai mereka beriman. Seorang budak laki-laki Mukmin lebih baik
daripada seorang laki-laki musyrik, meskipun dia (laki-laki musyrik itu)
menakjubkan kalian. Mereka itu (orang-orang musyrik) mengajak (kalian) ke
neraka, sedangkan Allah mengajak (kalian) ke syurga dan ampunan, dengan
ijin-Nya. Dan Dia menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka
mengambil pelajaran. (Al Baqarah: 221).
Dalam ayat di atas jelas-jelas disebutkan, bahwa Ummat
Islam secara mutlak tidak boleh menikahi wanita musyrik dan tidak boleh
menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik. Alasannya jelas,
orang-orang musyrik itu hanya akan mengajak kita terjerumus ke neraka.
Dalam ayat lain, ”orang-orang beriman dilarang
menikah dengan pezina dan orang musyrik. Seorang laki-laki pezina, dia tidak
menikahi melainkan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina, tidak
menikahinya, melainkan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan
hal itu (menikahi pezina dan musyrik) bagi orang-orang Mukmin. (An Nuur: 3).
Jelas sekali bunyi ayatnya, Wa hur-rima dza-lika
alal mukminin (dan diharamkan hal
itu atas orang-orang Mukmin). Nah, ayat yang seperti ini, menurut pengasong pemikiran
liberal, hanyalah penafsiran para ulama. Mereka tidak mengerti Islam sama
sekali, sampai hal- hal paling dasar sekali pun. Dalam ayat lain disebutkan larangan tegas. ”Maka
jika kalian mengetahui bahwa mereka itu wanita-wanita Mukminat, maka janganlah
kalian kembalikan mereka kepada para kuffar (suami-suami kafir mereka di
Makkah). Tidaklah mereka (wanita-wanita Mukminah itu) halal bagi mereka
(kuffar), dan tidak pula mereka (kuffar) itu halal bagi mereka (wanita
Mukminah). Dan bayarkanlah kepada mereka (suami-suami kuffar itu) apa yang
telah mereka infakkan (berupa mahar perkawinan terhadap wanita-wanita Mukminah
itu). Dan tidak berdosa bagi kalian menikahi wanita-wanita Mukminah itu, jika
telah kalian tunaikan mahar kepada mereka. (Al Mumtahanah: 10).
Jelas tampak didalam ayat ini, Laa hunna hillu
lahum, wa laa hum yahilluna la hunna (tidaklah wanita-wanita itu halal bagi
mereka [laki-laki kuffar], dan tidak pula mereka [laki-laki kuffar itu] halal
bagi mereka [wanita-wanita Mukminah]). Kata laa hillu atau laa
yahilluna itu artinya: Tidak halal. Tidak halal itu artinya haram; haram itu
artinya berdosa; berdosa itu artinya mendapat ancaman siksa Allah. Apakah untuk
hal-hal seperti ini mereka masih akan berkata, Itu hanya intepretasi para ulama
?.
Ayat Al Mumtahanah ini luar biasa. Secara prinsip sudah
diutarakan sikap tegas Islam dalam soal pernikahan dengan kuffar. Kemudian hal
itu ditambah dengan solusi ekonomis, yaitu Ummat Islam disuruh membayar mahar
yang telah diberikan oleh laki-laki kuffar itu sebelumnya. Artinya, pernikahan
mereka dibatalkan, dan mahar dikembalikan secara ksatria. Perlu juga dicatat,
kata-kata yang digunakan dalam ayat ini kuffar bukan musyrik. Itu harus dicatat
dengan jelas! Dapat disimpulkan, wanita Muslimah itu haram dinikahi laki-laki
kuffar, siapapun dirinya.
Kalaupun ada toleransi, ialah pernikahan antara laki-laki
Muslim dengan wanita ahlul kitab. Dasarnya sebagai berikut: (Dan
dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia dari kalangan wanita
Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang telah diberi Al Kitab
sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, dengan maksud
menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka sebagai wanita simpanan
(gundik). Maka siapa yang kafir terhadap al iman (hukum-hukum Allah), sungguh
telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk orang yang merugi. (Al Maaidah:
5).
Ayat ini membolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab
(Yahudi dan Nashrani), sebagaimana kita boleh memakan makanan (sembelihan) mereka.
Tetapi hal itu hanya berlaku bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita ahlul
kitab, bukan sebaliknya malah mengkritisi, Dalam ayat ini tidak ada larangan
wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim. Disana hanya disebutkan,
laki-laki Muslim boleh menikahi ahli kitab.
Disini kita menangkap betapa kacau cara berpikir orang orang liberal. Hanya karena dalam ayat di atas disebutkan, Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, merek menyimpulkan, tidak ada larangan bagi Muslimah menikah dengan non Muslim.
Kalau dari ayat di atas kita menyimpulkan, Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, jelas ayat itu sendiri sebagai dalilnya. Tetapi jika hal itu hendak diteruskan dengan menyimpulkan, Kalau begitu wanita Muslimah boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atas dasar apa kita menetapkannya? Apakah dalam ayat tersebut ada dalil yang membolehkan hal itu? Bagian mana dalilnya? Tidak ada sama sekali! Lalu untuk apa menetapkan hukum yang tidak ada dalilnya? Justru disini sangat tampak, bahwa saat mereka menghalalkan nikah beda agama, hal itu muncul dari intepretasi pikiran dia sendiri, bukan berdasarkan dalil Syariat.
Untuk menetapkan hukum halal-haram, harus jelas dalilnya,
tidak boleh berdasarkan intepretasi pribadi. Kita ini hanya melayani Wahyu
Allah, bukan melayani hawa nafsu. Seandainya, dalam Al Maaidah ayat 5 itu tidak
ada dalil pengharaman bagi wanita Muslimah menikah dengan non Muslim,
pengharaman itu sudah dibahas di ayat-ayat lain. Lihat kembali An Nuur 24, Al
Baqarah 221, An Nuur 3, dan Al Mumtahanah 10. Kalau mereka menolak keberadaan
ayat-ayat lain, dengan hanya berpatokan kepada Al Maaidah ayat 5, berarti
mereka sudah sampai di titik nazhir kehancuran akal yang paling mengenaskan.
Menikahi Wanita Ahli kitab
Secara umum, menikahi wanita ahli kitab itu boleh.
Dalilnya adalah Surat Al Maaidah ayat 5 di atas. Makanan Ahli kitab halal,
begitu pula menikahi wanita mereka, juga halal. Disini perlu dilihat lebih
dalam, biar tidak salah arah.
Siapakah ahli kitab? Apakah ahli kitab masih ada sampai
saat ini? Apakah setiap agama yang punya kitab suci bisa disebut ahli kitab?
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ahli kitab itu
adalah Yahudi dan Nashrani. Yahudi mengikuti Taurat (Perjanjian Lama atau Old
Testament), Nashrani mengikuti Injil (Perjanjian Baru atau New Testament).
Hukum-hukum Syariat bagi ahli kitab masih berlaku atas mereka. Banyak orang
berpandangan bahwa ahli kitab sudah tidak ada lagi. Ia hanya ada di jaman
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam, ketika mereka
masih memegang Taurat atau Injil yang masih asli. Kalau sekarang, isi Taurat
dan Injil sudah banyak dipalsukan.
Tetapi kesimpulan seperti
itu perlu dikritisi:
(1) Pemalsuan
Taurat dan Injil sudah terjadi sejak sebelum jaman Rasulullah. Bukan hanya
terjadi saat ini. Hal itu banyak
disebutkan dalam Al Qur’an. Kalau kitab mereka
tidak diselewengkan sejak awal, lalu
apa gunanya Al Qur’an diturunkan? Bukankah
salah satu misi diturunkannya Al Qur’an ialah meluruskan
penyimpangan dalam kitab-kitab itu?
(2) Jika ahli
kitab di masa lalu berpegang kepada kitab-kitab yang masih asli, belum
dipalsukan, berarti mereka adalah
Muslim, sama seperti kita, hanya berbeda Nabinya. Orang-orang seperti itu,
ketika mereka mengetahui kebenaran
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam biasanya
akan masuk Islam. Artinya, mereka
itu sama-sama beriman, jadi mereka serupa dengan kita, hanya Syariat-nya yang berbeda. Otomatis dalam perkara muamalah
tidak ada keraguan berinteraksi dengan mereka.
(3) Jika Yahudi
dan Nashrani tidak diakui sebagai ahli kitab, lalu siapa yang disebut ahli
kitab dalam Al Qur’an? Apakah kaum itu sudah
lenyap ditelan bumi? Lalu bagaimana dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sangat
banyak berbicara tentang ahli kitab? Akan dikemanakan ayat-ayat yang banyak
itu?
(4) Di sebuah negara Islam, orang musyrik dilarang
tinggal di dalamnya, sedangkan ahli kitab diperbolehkan,
asal mereka tunduk kepada Syariat Islam. Mereka kemudian disebut ahludz dzimmi.
Jika Yahudi dan Nashrani dianggap
sebagai musyrik (bukan ahli kitab), apakah mereka tidak boleh tinggal di negeri Islam? Padahal sejak
jaman Nabi shallallah alaihi wa sallam di Madinah sampai jaman Turki Utsmani, Yahudi atau Nashrani
boleh tinggal di negeri Islam, selama membayar jizyah.
(5) Anda harus mengetahui, bahwa pemeluk agama Yahudi
berbeda dengan Nashrani. Mereka itu mengakui
Keesaan Allah, bukan penganut Trinitas dan semacamnya. Meskipun tentu dengan
segala kesesatan teologis yang ada
dalam agama mereka. Dari sisi Tauhid, Yahudi lebih dekat dengan kita, meskipun agama mereka tetap sesat dan
rusak. Bahkan Yahudi juga mengharamkan babi, berbeda dengan Nashrani. Tidak bisa kita mengatakan mereka sebagai
musyrik, menyamakan dengan Hindu, Budha,
Sinto, dsb.
Jadi ahli kitab
itu masih ada sampai saat ini. Mereka adalah Yahudi dan Nashrani, meskipun nama
dan sektenya bermacam-macam. Siapapun yang beriman kepada Taurat dan Injil,
mereka Ahli kitab. Adapun orang-orang beragama Hindu, Budha, dll. yang konon
juga memiliki kitab suci, mereka tidak disebut ahli kitab, tetapi disebut
musyrikun. Pengertian al kitab dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah kitab Taurat dan Injil yang
diturunkan kepada Musa dan Isa alaihimassalam. Jangankan penganut Hindu, Budha,
Konghuchu, dll. para pengikut Nabi-nabi di masa lalu saja, di era sebelum Musa ‘alaihissalam, mereka tidak
disebut ahli kitab. Jadi tidak alasan menerima orang-orang musyrik sebagai ahli
kitab.
Seandainya laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi
wanita-wanita ahli kitab, tidak berarti Islam membuka kran kebebasan
seluas-luasnya. Dalam ayat di atas tergambar dengan baik syarat-syarat yang
diinginkan oleh Islam.
(Dan dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia
dari kalangan wanita Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang
telah diberi Al Kitab sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada
mereka, dengan maksud menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka
sebagai gundik-gundik (wanita simpanan). Maka siapa yang kafir terhadap al iman
(hukum-hukum Allah), sungguh telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk
orang yang merugi. (Al Maaidah: 5).
Karakter wanita ahli kitab yang boleh dinikahi adalah
muh-shanat, wanita yang menjaga kehormatan. bukan wanita sembarangan. Lagi pula
mereka disebut setelah wanita mulia dari kalangan Mukminat. Wanita ahli kitab
itu menempati prioritas setelah wanita-wanita Mukminat. Artinya, jika masih
banyak wanita-wanita Muslimah yang belum menikah, mengapa kita harus menengok
wanita-wanita ahli kitab ? Coba lihat, meskipun menikahi wanita-wanita ahli
kitab diperbolehkan, upaya menjaga keimanan laki-laki Muslim tetap dilakukan,
dengan cara tidak menikahi wanita ahli kitab sembarangan.
Dalam konteks sekarang, tidak mengapa menikah dengan
wanita-wanita yang berakhlak mulia dari kalangan Yahudi atau Nashrani. Tetapi
dengan syarat: (1) laki-laki Muslim yang menikahi wanita itu, hendaklah
orang-orang yang kuat ilmunya dan kokoh hatinya (saat menghadapi keluarga sang
wanita); (2), niatan laki-laki itu menikahi wanita tersebut, adalah untuk
mengislamkannya. Alhamdulillah, jika bisa sekalian mengislamkan keluarganya (3)
jika dalam pernikahan, wanita itu ternyata tidak mau masuk Islam, malah ingin
menyeret suami dan anak-anaknya ke dalam kekafiran, maka dia harus diceraikan.
Jika sudah diceraikan, sebaiknya tidak perlu rujuk, kecuali kalau dia mau masuk
Islam. Pernikahan dengan wanita ahli kitab tanpa visi seperti ini hanyalah menjerumuskan
diri dalam kesulitan.
Kritik Untuk Para Pendukung Nikah Beda Agama
Mereka mengatakan, bahwa pendapat para ulama beragam
dalam soal nikah beda agama. Saya katakan, sebenarnya tidak beragam, sebab
ayat-ayat yang berbicara larangan menikah beda agama itu sangat tegas. Tidak
membutuhkan tafsir lagi. Sudah terlalu jelas untuk ditafsirkan. Bahkan tanpa
pendapat ulama sekali pun, kita telah mendapati hukum yang jelas disini. Dari
ayat-ayat itu dapat disimpulkan, sebagai berikut: (1) Menikah dengan
orang musyrik (baik laki-laki maupun perempuan) adalah haram; (2) Wanita-wanita
Muslimah haram menikah dengan laki-laki kuffar [baik musyrik maupun ahli
kitab]; (3) Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang berakhlak
mulia. Kesimpulan seperti ini tidak membutuhkan tafsiran yang njelimet. Sudah
jelas, tegas, lugas, dan tuntas!
Mungkin, yang dimaksud keragaman pendapat ulama oleh
mereka adalah termasuk pandangan tokoh-tokoh rasionalis atau pemikir Liberal
masa kini. Tapi mereka tidak sebanding ilmunnya
dengan ulama-ulama yang telah diakui pandangan-pandangannya. Kalau para ulama
beragam pendapatnya, mereka harus menunjukkan bukti-buktinya.
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam memberikan contoh yang sangat baik. Dari
sekitar 12 isteri beliau, tidak ada satu pun yang kafir, tidak ada satu pun
wanita musyrik. Beliau menikahi seorang wanita dari kalangan Kristen Koptik,
yaitu Maria Qibthiyyah radhiyallahu ‘anha. Semula beliau Nashrani, lalu masuk Islam.
Rasulullah juga menikahi Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, mantan isteri seorang tokoh Yahudi Madinah. Setelah
dinikahi, beliau masuk Islam. Selebihnya yang beliau nikahi adalah
wanita-wanita Mukminah.
Mereka mengatakan, bahwa rata-rata alasan pelarangan
menikah beda agama adalah agar tidak terjadi reduksi keimanan seorang suami
terpengaruh isterinya yang non Muslim, atau seorang isteri terpengaruh suaminya
yang non Muslim. Pendapat ini tidak benar ! Alasan larangan menikah beda agama
adalah karena adanya dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Sunnah tentang pernikahan seperti itu. Soal akibat
akan menimbulkan reduksi keimanan, disharmoni keluarga, perceraian, dll., itu
masalah lain. Patokan utamanya adalah dalil Syar’i, bukan karena alasan dampak buruk pernikahan beda agama
itu sendiri.
Masalah nikah beda agama adalah persoalan yang sudah
selesai. Tetapi mereka menolak kesimpulan itu, dan beranggapan bahwa disini
masih diperbolehkan ijtihad bahkan sekarang mereka pun menggugat undang undang
yang melarang nikah beda agama ke Mahkamah Konstitusi. Na’uzubillahMinzalik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar