Kamis, 01 Januari 2015

NIKAH BEDA AGAMA DALAM HUKUM ISLAM


NIKAH BEDA AGAMA

Ust. H. Ibnu Sholeh S.R, M.A, M.P.I

Propaganda Nikah Beda Agama

Belakangan ini pembahasan nikah beda agama kembali ramai diperbincangkan, tepatnya sejak sekelompok pengasong ide liberal melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap undang undang yang melarang pernikahan beda agama. Seperti biasa, pentolan liberal sebagai pengasong pemikiran Iblis tak henti hentinya menyampaikan alasannya kenapa mendukung pernikahan beda agama. Bukan hanya mendukung, mereka juga sangat bersemangat mengkritisi pandangan kaum Muslimin selama ini yang melarang nikah beda agama. Para pengasong liberal ini memakai berbagai jurus argumentasi, sehingga terlihat seolah pandangannya adalah benar.

Bagi orang awam, alasan-alasan pengasong liberal ini bisa menipu, sehingga mereka mendukung pernikahan beda agama, diantara alasan yang dipakai untuk mendukung pendapatnya, kurang lebih sebagai berikut:

(1)  Selama ini tidak nash yang qathi (tegas) dalam Al Quran atau As Sunnah yang melarang pernikahan        beda agama. Kalaupun ada larangan, hal itu hanyalah intepretasi (penafsiran) para ulama. atau        hasil ijtihad ulama.
2)    Tidak ada ayat yang melarang Muslim menikah dengan non Muslim. Kalaupun ada adalah     larangan menikah dengan orang musyrik dan kafir. Sementara definisi musyrik, kafir, dan        ahlul    kitab itu beragam menurut para ulama. Muhammad Abduh menganggap siapapun     yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, mereka juga ahlul kitab.
(3) Pandangan para ulama dalam masalah nikah beda agama, tidak bersifat tunggal, melainkan    beragam. Jadi, pandangan mereka relatif, tidak bersifat mutlak.
(4)   MUI Jakarta tahun 1996 pernah memperbolehkan pernikahan beda agama, karena waktu itu banyak        kasus pernikahan beda agama (alasan Sosiologis). Tetapi tahun 1997, fatwa MUI        Jakarta            itu dicabut lagi. Artinya, MUI pun pernah membolehkan nikah beda agama.
(5) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Al Azhar Mesir, larangan Muslimah    menikah dengan non Muslim, karena khawatir mereka nanti akan terpengaruh oleh agama           suaminya. Sementara menurut Musdah, dari hasil penelitian dosen UIN Jakarta (kolega         Musdah), 80 % anak-anak yang ibunya menikah dengan non Muslim, ikut agama ibunya (Islam).

Selain pandangan di atas, merekaa juga mengatakan beberapa pandangan tambahan di bawah ini, yaitu:

(a)   Kalau niatnya berdakwah, seharusnya kita mendorong agar para Muslimah banyak     menikah           dengan non Muslim, sebab hal itu nanti bisa menarik non Muslim serta anak-anaknya menjadi Islam     juga.
(b)  Musdah mempertanyakan, Kata siapa masalah nikah beda agama sudah selesai?                     Kesimpulan seperti itu kata dia justru menutup lahirnya ijtihad yang cemerlang. Dan      kenyataan seperti inilah yang membuat Islam masih kata Musdah- mengalami kemunduran             peradaban sejak abad 12 Masehi.
(c) Hukum halal-haram yang ada selama ini hanyalah produk intepretasi manusia (ulama)? Bukan            wahyu dari Allah. Jika memang intepretasi ulama itu berharga, mengapa ulama-ulama kontemporer yang berpemikiran progressif tidak dihargai, padahal mereka juga berdasarkan Al        Quran dan As Sunnah?

Demikian kurang lebih pokok-pokok pemikiran para penghujat Syariat Islam ini. Kalau mau jujur, pemikiran dia hanya mengulang-ulang lagu lawas kaum pemeluk agama Liberal.
Ummat Islam Perlu Hati-hati

Ummat Islam harus berhati-hati saat menghadapi propaganda pemikiran non Islam, dan Liberalisme. Kita harus berhati-hati saat berhadapan dengan pemikiran mereka. Kalau ilmu kita memang tidak cukup, hati kita masih ragu-ragu, sebaiknya jangan mendengar atau membaca tulisan orang-orang keblinger itu. Khawatir nanti kita akan terseret dalam arus keraguan yang tidak menentu.

Di mata orang awam, generasi muda yang masih baru belajar agama, atau dai-dai populis, apa yang dikemukakan mereka. adalah masalah sepele. Walaupun sesungguhnya Ia bisa mengguncang keimanan. Maka janganlah segan-segan bertanya kepada ulama-ulama yang istiqamah, saat berhadapan dengan pemikiran-pemikiran tercela kaum liberal

Larangan Menikah Beda Agama

Sungguh terlalu kalau pengasong agama liberal yang mengatakan bahwa tidak ada ayat-ayat yang secara tegas melarang pernikahan beda agama. Dia menuduh,pemikiran-pemikiran dalam hal ini umumnya hanyalah intepretasi ulama. Padahal dalam Al Quran bukan hanya di satu tempat disebutkan larangan pernikahan beda agama.

Dalam Surat An Nuur disebutkan pedoman yang bersifat umum: Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik. (An Nuur: 24).

Tentu saja, kekejian kekafiran dan kemusyrikan lebih berat daripada kekejian maksiyat, seperti mencuri, berjudi, zina, minum khamr, bahkan membunuh. Dalam Al Quran disebutkan kalimat terkenal, Wal fitnatu asyaddu minal qatli (dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan). Yang dimaksud fitnah disini adalah syirik, kekafiran, dan kekacauan yang meluas. Dosa maksiyat sangat mungkin diampuni, tetapi tidak bagi dosa syirik ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni siapa yang mensyirikkan-Nya, dan Dia mengampuni yang selain itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang mensyirikkan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar. (An Nisaa: 48).

Kemudian dalam Surat Al Baqarah disebutkan larangan bagi Ummat Islam menikahi kaum musyrikin. Janganlah kalian menikah wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. Seorang budak wanita Mukminah, dia lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun dirinya (wanita musyrik itu) menakjubkan kalian. Dan janganlah menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita Muslimah) sampai mereka beriman. Seorang budak laki-laki Mukmin lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik, meskipun dia (laki-laki musyrik itu) menakjubkan kalian. Mereka itu (orang-orang musyrik) mengajak (kalian) ke neraka, sedangkan Allah mengajak (kalian) ke syurga dan ampunan, dengan ijin-Nya. Dan Dia menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka mengambil pelajaran. (Al Baqarah: 221).

Dalam ayat di atas jelas-jelas disebutkan, bahwa Ummat Islam secara mutlak tidak boleh menikahi wanita musyrik dan tidak boleh menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik. Alasannya jelas, orang-orang musyrik itu hanya akan mengajak kita terjerumus ke neraka.

Dalam ayat lain, ”orang-orang beriman dilarang menikah dengan pezina dan orang musyrik. Seorang laki-laki pezina, dia tidak menikahi melainkan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina, tidak menikahinya, melainkan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan hal itu (menikahi pezina dan musyrik) bagi orang-orang Mukmin. (An Nuur: 3).
Jelas sekali bunyi ayatnya, Wa hur-rima dza-lika alal mukminin (dan diharamkan hal itu atas orang-orang Mukmin). Nah, ayat yang seperti ini, menurut pengasong pemikiran liberal, hanyalah penafsiran para ulama. Mereka tidak mengerti Islam sama sekali, sampai hal- hal paling dasar sekali pun.  Dalam ayat lain disebutkan larangan tegas. ”Maka jika kalian mengetahui bahwa mereka itu wanita-wanita Mukminat, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada para kuffar (suami-suami kafir mereka di Makkah). Tidaklah mereka (wanita-wanita Mukminah itu) halal bagi mereka (kuffar), dan tidak pula mereka (kuffar) itu halal bagi mereka (wanita Mukminah). Dan bayarkanlah kepada mereka (suami-suami kuffar itu) apa yang telah mereka infakkan (berupa mahar perkawinan terhadap wanita-wanita Mukminah itu). Dan tidak berdosa bagi kalian menikahi wanita-wanita Mukminah itu, jika telah kalian tunaikan mahar kepada mereka. (Al Mumtahanah: 10).

Jelas tampak didalam ayat ini, Laa hunna hillu lahum, wa laa hum yahilluna la hunna (tidaklah wanita-wanita itu halal bagi mereka [laki-laki kuffar], dan tidak pula mereka [laki-laki kuffar itu] halal bagi mereka [wanita-wanita Mukminah]). Kata laa hillu atau laa yahilluna itu artinya: Tidak halal. Tidak halal itu artinya haram; haram itu artinya berdosa; berdosa itu artinya mendapat ancaman siksa Allah. Apakah untuk hal-hal seperti ini mereka masih akan berkata, Itu hanya intepretasi para ulama ?.

Ayat Al Mumtahanah ini luar biasa. Secara prinsip sudah diutarakan sikap tegas Islam dalam soal pernikahan dengan kuffar. Kemudian hal itu ditambah dengan solusi ekonomis, yaitu Ummat Islam disuruh membayar mahar yang telah diberikan oleh laki-laki kuffar itu sebelumnya. Artinya, pernikahan mereka dibatalkan, dan mahar dikembalikan secara ksatria. Perlu juga dicatat, kata-kata yang digunakan dalam ayat ini kuffar bukan musyrik. Itu harus dicatat dengan jelas! Dapat disimpulkan, wanita Muslimah itu haram dinikahi laki-laki kuffar, siapapun dirinya.

Kalaupun ada toleransi, ialah pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab. Dasarnya sebagai berikut: (Dan dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia dari kalangan wanita Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang telah diberi Al Kitab sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, dengan maksud menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka sebagai wanita simpanan (gundik). Maka siapa yang kafir terhadap al iman (hukum-hukum Allah), sungguh telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk orang yang merugi. (Al Maaidah: 5).

Ayat ini membolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani), sebagaimana kita boleh memakan makanan (sembelihan) mereka. Tetapi hal itu hanya berlaku bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, bukan sebaliknya malah mengkritisi, Dalam ayat ini tidak ada larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim. Disana hanya disebutkan, laki-laki Muslim boleh menikahi ahli kitab.

Disini kita menangkap betapa kacau cara berpikir orang orang liberal. Hanya karena dalam ayat di atas disebutkan, Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, merek  menyimpulkan, tidak ada larangan bagi Muslimah menikah dengan non Muslim.

Kalau dari ayat di atas kita menyimpulkan, Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, jelas ayat itu sendiri sebagai dalilnya. Tetapi jika hal itu hendak diteruskan dengan menyimpulkan, Kalau begitu wanita Muslimah boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atas dasar apa kita menetapkannya? Apakah dalam ayat tersebut ada dalil yang membolehkan hal itu? Bagian mana dalilnya? Tidak ada sama sekali! Lalu untuk apa menetapkan hukum yang tidak ada dalilnya? Justru disini sangat tampak, bahwa saat mereka menghalalkan nikah beda agama, hal itu muncul dari intepretasi pikiran dia sendiri, bukan berdasarkan dalil Syariat.

Untuk menetapkan hukum halal-haram, harus jelas dalilnya, tidak boleh berdasarkan intepretasi pribadi. Kita ini hanya melayani Wahyu Allah, bukan melayani hawa nafsu. Seandainya, dalam Al Maaidah ayat 5 itu tidak ada dalil pengharaman bagi wanita Muslimah menikah dengan non Muslim, pengharaman itu sudah dibahas di ayat-ayat lain. Lihat kembali An Nuur 24, Al Baqarah 221, An Nuur 3, dan Al Mumtahanah 10. Kalau mereka menolak keberadaan ayat-ayat lain, dengan hanya berpatokan kepada Al Maaidah ayat 5, berarti mereka sudah sampai di titik nazhir kehancuran akal yang paling mengenaskan.

Menikahi Wanita Ahli kitab

Secara umum, menikahi wanita ahli kitab itu boleh. Dalilnya adalah Surat Al Maaidah ayat 5 di atas. Makanan Ahli kitab halal, begitu pula menikahi wanita mereka, juga halal. Disini perlu dilihat lebih dalam, biar tidak salah arah.

Siapakah ahli kitab? Apakah ahli kitab masih ada sampai saat ini? Apakah setiap agama yang punya kitab suci bisa disebut ahli kitab?

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ahli kitab itu adalah Yahudi dan Nashrani. Yahudi mengikuti Taurat (Perjanjian Lama atau Old Testament), Nashrani mengikuti Injil (Perjanjian Baru atau New Testament). Hukum-hukum Syariat bagi ahli kitab masih berlaku atas mereka. Banyak orang berpandangan bahwa ahli kitab sudah tidak ada lagi. Ia hanya ada di jaman Rasulullah shallallah alaihi wa sallam, ketika mereka masih memegang Taurat atau Injil yang masih asli. Kalau sekarang, isi Taurat dan Injil sudah banyak dipalsukan.

Tetapi kesimpulan seperti itu perlu dikritisi:

(1)  Pemalsuan Taurat dan Injil sudah terjadi sejak sebelum jaman Rasulullah. Bukan hanya terjadi saat       ini. Hal itu banyak disebutkan dalam Al Quran. Kalau kitab mereka tidak diselewengkan sejak awal,    lalu apa gunanya Al Quran diturunkan? Bukankah salah satu misi diturunkannya Al Quran ialah            meluruskan penyimpangan dalam kitab-kitab itu?
(2)  Jika ahli kitab di masa lalu berpegang kepada kitab-kitab yang masih asli, belum dipalsukan, berarti      mereka adalah Muslim, sama seperti kita, hanya berbeda Nabinya. Orang-orang seperti itu, ketika     mereka mengetahui kebenaran Rasulullah shallallah alaihi wa sallam biasanya akan masuk Islam.          Artinya, mereka itu sama-sama beriman, jadi mereka serupa dengan kita, hanya Syariat-nya yang      berbeda. Otomatis dalam perkara muamalah tidak ada keraguan berinteraksi dengan mereka.
(3)  Jika Yahudi dan Nashrani tidak diakui sebagai ahli kitab, lalu siapa yang disebut ahli kitab dalam Al     Quran? Apakah kaum itu sudah lenyap ditelan bumi? Lalu bagaimana dengan ayat-ayat Al Quran   yang sangat banyak berbicara tentang ahli kitab? Akan dikemanakan ayat-ayat yang banyak itu?
(4) Di sebuah negara Islam, orang musyrik dilarang tinggal di dalamnya, sedangkan ahli kitab           diperbolehkan, asal mereka tunduk kepada Syariat Islam. Mereka kemudian disebut ahludz dzimmi.       Jika Yahudi dan Nashrani dianggap sebagai musyrik (bukan ahli kitab), apakah mereka tidak boleh       tinggal di negeri Islam? Padahal sejak jaman Nabi shallallah alaihi wa sallam di Madinah sampai      jaman Turki Utsmani, Yahudi atau Nashrani boleh tinggal di negeri Islam, selama membayar jizyah.
(5) Anda harus mengetahui, bahwa pemeluk agama Yahudi berbeda dengan Nashrani. Mereka itu    mengakui Keesaan Allah, bukan penganut Trinitas dan semacamnya. Meskipun tentu dengan segala       kesesatan teologis yang ada dalam agama mereka. Dari sisi Tauhid, Yahudi lebih dekat dengan kita,       meskipun agama mereka tetap sesat dan rusak. Bahkan Yahudi juga mengharamkan babi, berbeda     dengan Nashrani. Tidak bisa kita mengatakan mereka sebagai musyrik, menyamakan dengan Hindu,            Budha, Sinto, dsb.


Jadi  ahli kitab itu masih ada sampai saat ini. Mereka adalah Yahudi dan Nashrani, meskipun nama dan sektenya bermacam-macam. Siapapun yang beriman kepada Taurat dan Injil, mereka Ahli kitab. Adapun orang-orang beragama Hindu, Budha, dll. yang konon juga memiliki kitab suci, mereka tidak disebut ahli kitab, tetapi disebut musyrikun. Pengertian al kitab dalam Al Quran dan As Sunnah adalah kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Musa dan Isa alaihimassalam. Jangankan penganut Hindu, Budha, Konghuchu, dll. para pengikut Nabi-nabi di masa lalu saja, di era sebelum Musa alaihissalam, mereka tidak disebut ahli kitab. Jadi tidak alasan menerima orang-orang musyrik sebagai ahli kitab.

Seandainya laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, tidak berarti Islam membuka kran kebebasan seluas-luasnya. Dalam ayat di atas tergambar dengan baik syarat-syarat yang diinginkan oleh Islam.

(Dan dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia dari kalangan wanita Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang telah diberi Al Kitab sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, dengan maksud menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka sebagai gundik-gundik (wanita simpanan). Maka siapa yang kafir terhadap al iman (hukum-hukum Allah), sungguh telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk orang yang merugi. (Al Maaidah: 5).

Karakter wanita ahli kitab yang boleh dinikahi adalah muh-shanat, wanita yang menjaga kehormatan. bukan wanita sembarangan. Lagi pula mereka disebut setelah wanita mulia dari kalangan Mukminat. Wanita ahli kitab itu menempati prioritas setelah wanita-wanita Mukminat. Artinya, jika masih banyak wanita-wanita Muslimah yang belum menikah, mengapa kita harus menengok wanita-wanita ahli kitab ? Coba lihat, meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab diperbolehkan, upaya menjaga keimanan laki-laki Muslim tetap dilakukan, dengan cara tidak menikahi wanita ahli kitab sembarangan.

Dalam konteks sekarang, tidak mengapa menikah dengan wanita-wanita yang berakhlak mulia dari kalangan Yahudi atau Nashrani. Tetapi dengan syarat: (1) laki-laki Muslim yang menikahi wanita itu, hendaklah orang-orang yang kuat ilmunya dan kokoh hatinya (saat menghadapi keluarga sang wanita); (2), niatan laki-laki itu menikahi wanita tersebut, adalah untuk mengislamkannya. Alhamdulillah, jika bisa sekalian mengislamkan keluarganya (3) jika dalam pernikahan, wanita itu ternyata tidak mau masuk Islam, malah ingin menyeret suami dan anak-anaknya ke dalam kekafiran, maka dia harus diceraikan. Jika sudah diceraikan, sebaiknya tidak perlu rujuk, kecuali kalau dia mau masuk Islam. Pernikahan dengan wanita ahli kitab tanpa visi seperti ini hanyalah menjerumuskan diri dalam kesulitan.

Kritik Untuk Para Pendukung Nikah Beda Agama

Mereka mengatakan, bahwa pendapat para ulama beragam dalam soal nikah beda agama. Saya katakan, sebenarnya tidak beragam, sebab ayat-ayat yang berbicara larangan menikah beda agama itu sangat tegas. Tidak membutuhkan tafsir lagi. Sudah terlalu jelas untuk ditafsirkan. Bahkan tanpa pendapat ulama sekali pun, kita telah mendapati hukum yang jelas disini. Dari ayat-ayat itu dapat disimpulkan, sebagai berikut: (1) Menikah dengan orang musyrik (baik laki-laki maupun perempuan) adalah haram; (2) Wanita-wanita Muslimah haram menikah dengan laki-laki kuffar [baik musyrik maupun ahli kitab]; (3) Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang berakhlak mulia. Kesimpulan seperti ini tidak membutuhkan tafsiran yang njelimet. Sudah jelas, tegas, lugas, dan tuntas!

Mungkin, yang dimaksud keragaman pendapat ulama oleh mereka adalah termasuk pandangan tokoh-tokoh rasionalis atau pemikir Liberal masa kini. Tapi mereka tidak sebanding ilmunnya dengan ulama-ulama yang telah diakui pandangan-pandangannya. Kalau para ulama beragam pendapatnya, mereka harus menunjukkan bukti-buktinya.

Rasulullah shallallah alaihi wa sallam memberikan contoh yang sangat baik. Dari sekitar 12 isteri beliau, tidak ada satu pun yang kafir, tidak ada satu pun wanita musyrik. Beliau menikahi seorang wanita dari kalangan Kristen Koptik, yaitu Maria Qibthiyyah radhiyallahu anha. Semula beliau Nashrani, lalu masuk Islam. Rasulullah juga menikahi Juwairiyyah radhiyallahu anha, mantan isteri seorang tokoh Yahudi Madinah. Setelah dinikahi, beliau masuk Islam. Selebihnya yang beliau nikahi adalah wanita-wanita Mukminah.

Mereka mengatakan, bahwa rata-rata alasan pelarangan menikah beda agama adalah agar tidak terjadi reduksi keimanan seorang suami terpengaruh isterinya yang non Muslim, atau seorang isteri terpengaruh suaminya yang non Muslim. Pendapat ini tidak benar ! Alasan larangan menikah beda agama adalah karena adanya dalil-dalil dalam Al Quran dan Sunnah tentang pernikahan seperti itu. Soal akibat akan menimbulkan reduksi keimanan, disharmoni keluarga, perceraian, dll., itu masalah lain. Patokan utamanya adalah dalil Syari, bukan karena alasan dampak buruk pernikahan beda agama itu sendiri.

Masalah nikah beda agama adalah persoalan yang sudah selesai. Tetapi mereka menolak kesimpulan itu, dan beranggapan bahwa disini masih diperbolehkan ijtihad bahkan sekarang mereka pun menggugat undang undang yang melarang nikah beda agama ke Mahkamah Konstitusi. Na’uzubillahMinzalik



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar